Assalamualaikum wr wb.
pada tugas softskill kali ini, Saya akan membahas tentang tindak pidana pelangaran UU nomor
11 tahun 2008. diantaranya:
Kasus Prita Mulyasari
Kasus Prita Mulyasari
ibu rumah tangga, mantan pasien Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra
Tangerang. Saat dirawat di Rumah Sakit tersebut Prita tidak mendapat kesembuhan
namun penyakitnya malah bertambah parah. Pihak rumah sakit tidak memberikan keterangan
yang pasti mengenai penyakit Prita, serta pihak Rumah Sakitpun tidak memberikan
rekam medis yang diperlukan oleh Prita. Kemudian Prita Mulyasari mengeluhkan
pelayanan rumah sakit tersebut melalui surat elektronik yang kemudian menyebar
ke berbagai mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak Rumah Sakit Omni
Internasional marah, dan merasa dicemarkan.
Narliswandi menulis bahwa Alvin meminta uang sebanyak itu bertujuan agar anggota dewan di Senayan tidak melakukan hak angket untuk menghambat Initial Public Offering (IPO) Adaro.
Saat itu rencana go public Adaro terhambat sengketa kepemilikan saham. Sebelum sengketa itu tuntas, rencana IPO itu bisa kandas . Tapi Badan Pengawas Pasar Modal (Bappepam) dan Lembaga Keuangan kemudian meloloskan IPO itu. Kabar lalu beredar bahwa anggota dewan di Senayan segera menggelar hak angket atas lolosnya IPO itu.
Sutrisno Bachir, kisah Iwan, menelepon dirinya pada pukul 12.53 siang. Ketua Umum PAN itu menyangsikan semua informasi yang diperoleh Iwan. "Narliswandi Piliang, Anda jangan suudzon dong," kata Sutrisno sebagaimana ditirukan Iwan kepada Vivanews.
Sutrisno menegaskan bahwa kalau betul Alvin Lie meminta uang sebanyak itu, atas nama partai atau atas nama pribadi, maka Alvin akan dipecat.Tapi Sutrisno meminta bukti yang kuat dari Iwan.
Iwan merasa upaya verifikasi yang dilakukan sudah cukup. Dia lantas membuat tulisan yang kemudian dipublikasikan di blognya di laman presstalk.com. Tulisan pun dipublikasikan pada 18 Juni 2008.
Belum lagi sebulan tulisan itu nampang, Alvin Lie yang merasa nama baiknya dicemarkan, melapor ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Iwan diperiksa polisi beberapa waktu berselang.“Dan setelah itu saya dengar polisi sudah menetapkan saya sebagai tersangka," jelas Iwan. Dia memastikan bahwa hingga saat ini dirinya sama sekali belum menerima surat penetapan tersangka itu.
Iwan dinilai melanggar ketentuan dalam Pasal 27 ayat UU ITE. Jika melanggar aturan dalam pasal itu, maka seseorang dapat dipidana penjara maksimal enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Iwan yang merasa tersudut melakukan aneka cara. Dia mengajukan uji materiil ketentuan Pasal 27 UU ITE ke Mahkamah Konstitusi. Iwan yang merasa memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian UU ITE ini merasa terancam dengan berlakunya Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Upaya itu kandas. Majelis Konstitusi yang diketuai Mahfud MD menolak permohonan Iwan Piliang dan Amrie Hakim Cs.
Mahkamah menilai Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bertentangan dengan nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip negara hukum. Majelis menilai ketentuan dalam pasal itu bertujuan menjaga keseimbangan antara kebebasan dan perlindungan individu, keluarga, kehormatan, dan martabat dengan kebebasan mengemukakan pendapat dan pikiran dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Permohonan Amrie dan kawan-kawannya ditolak. Mejelis menilai permohonan Amrie sama saja dengan yang diajukan Iwan.
Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) selaku pendamping hukum Agus Hamonangan menyatakan, penyidik mengajukan 12 pertanyaan kepada Agus Hamonangan di antaranya adalah prosedur pendaftaran anggota milis, prosedur posting email, dan tanggung jawab moderator terhadap posting email.
Agus diperiksa sebagi saksi terkait pemuatan tulisan berjudul Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto, karya Narliswandi Piliang, atau yan dikenal dengan nama Iwan Piliang. Pelapor kasus tersebut adalah Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional Alvin Lie.
Artikel tersebut awalnya ditulis di Tajuk Rakyat dan tersebar di milis. Dalam artikel itu diceritakan tentang kedatangan Alvin Lie ke PT Adaro untuk menemui Teddy Rahmat. Alvin Lie mengajukan permintaan uang Rp 6 miliar sebagai kompensasi penggagalan hak angket PT Adaro di DPR. Setelah terjadi tawar-menawar kemudian disepakati Rp1 miliar untuk Alvin Lie.
Apabila Alvin Lie berkeberatan terhadap tulisan yang dimuat maka tindakan selanjutnya yang harus dilakukan adalah menjadi anggota milis atau menghubungi moderator untuk memuat jawaban darinya, kata Direktur Publikasi dan pendidikan publik YLBHI, Agustinus Edy Kristianto dalam keterangan resminya, (Kamis 4/9/2008) kemarin.
Seperti dikatakan Agustinus, saksi Agus Hamonangan mengatakan, dalam pendaftaran anggota milis FPK hanya dibutuhkan alamat email saja. Semua bebas mengemukakan pendapat asal tidak berbau suku, agama, ras, antargolongan (SARA). Moderator tidak mengubah isi dari tulisan dan tidak bertanggungjawab terhadap tulisan. Apabila ada yang berkeberatan akan sebuah opini maka biasanya akan ada opini lain yang menjawab dalam milis diskusi FPK. Alvin Lie, tidak memberikan pernyataan untuk menjawab diskusi dalam FKK.
Agus Hamonangan diperiksa oleh penyidik Polda Metro Jaya Sat. IV Cyber Crime yakni Sudirman AP dan Agus Ristiani. Merujuk pada laporan Alvin Lie, ketentuan hukum yang dilaporkan adalah dugaan perbuatan pidana pencemaran nama baik dan fitnah seperti tercantum dalam Pasal 310, 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta dugaan perbuatan mendistribusikan/mentransmisikan informasi elektonik yang memuat materi penghinaan seperti tertuang dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). (srn)