Isu Dana Aspirasi DPR
PRIBUMINEWS – Presiden Joko Widodo jangan melanggar
undang-undang (UU) agar republik ini tidak gaduh lagi. Hakikat pelaksanaan
Pasal 78 dan Pasal 80 huruf (J) UU MD3 adalah kewajiban pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden bisa dikenai dakwaan melanggar UU jika tidak
mengakomodasi kebutuhan DPR melaksanakan UU No. 17/2014 tentang MD3 (MPR, DPR,
DPD dan DPRD) itu.
Rapat Paripurna DPR, Selasa 23 Juni 2015, menyetujui Usulan
Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) yang popular dengan sebutan dana
aspirasi. Persetujuan Paripurna DPR itu langsung memancing pro kontra. Selain
reaksi dari publik, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Andrinof Chaniago serta Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, juga angkat
bicara.
Wapres dan ketiga menteri itu cenderung menolak dana untuk
membiayai UP2DP itu. Lantas, bagaimana sikap dan posisi Presiden Jokowi? Sejauh
ini, belum ada pernyataan resmi dari Presiden tentang dana untuk UP2DP itu.
Menteri Pratikno dan Menteri Andrinof memang sudah membuat pernyataan tentang
kecenderungan Presiden menolak pengalokasikan dana aspirasi.
Menteri Pratikno hanya mengutip imbauan Presiden yang minta
semua pihak untuk prihatin dengan kondisi masyarakat saat ini. Penegasan
ini diartikan sebagai sinyal penolakan
Presiden terhadap dana aspirasi usulan DPR itu.
Tetapi, baik penjelasan Pratikno maupun pernyataan Menteri
Adrinof belum bisa dijadikan pegangan, karena publik sudah tahu bahwa presiden
sering berbeda pendapat dengan Wapres maupun para menteri. Demi kejelasan
masalah ini, Presiden Jokowi harus memperjelas sikap dan posisinya. Karena itu,
semua pihak hendaknya menunggu kejelasan dari Presiden.
Belum finalnya sikap Presiden pun tercermin dari pernyataan
Menteri Keuangan yang coba mengambil jalan tengah. Menteri Bambang menyatakan
bahwa pemerintah akan mengambil sikap setelah mempelajari proposal dana UP2DP.
Pemahaman tentang manfaat dana aspirasi sudah melenceng
terlalu jauh. Agenda UP2DP bagi setiap anggota DPR adalah tindak lanjut
sekaligus pelaksanaan dari UU MD3. Lahirnya UP2DP itu sendiri menjadi kehendak
pasal 78 dan pasal 80 UU No.17/2014 itu. Pasal 78 UU MD3 menyangkut sumpah jabatan
anggota dewan. Bunyinya, “Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang
saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan NKRI.”
Sedangkan pasal 80 huruf (J) UU yang sama menetapkan bahwa
anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah
pemilihan. Konsekuensi pasal ini tentu keharusan pemerintah mengalokasikan dana
UP2DP itu.
Selain pengawasan, persetujuan anggaran, dan pembuatan
undang-undang atau legislasi sebagai tugas pokok dan fungsi (tupoksi), salah
satu kewajiban lain dari anggota DPR adalah mendengar dan memperjuangkan
aspirasi rakyat kepada Pemerintah.
Seperti halnya pejabat pemerintah atau para menteri, setiap
kali melakukan kunjungan ke daerah pemilihan, semua anggota DPR pasti pernah
menerima keluhan dan permintaan dari masyarakat. Keluhan dan permintaan
masyarakat setempat itu selalu dituangkan dalam bentuk proposal.
Tidak berlebihan atau mengada-ada, muatan proposal itu
selalu berkait dengan kebutuhan dasar masyarakat setempat, seperti perbaikan
jalan atau jembatan, renovasi bangunan sekolah, kebutuhan air bersih, problem
jaringan listrik hingga pusat layanan kesehatan.
Proposal dengan muatan seperti itu dititipkan ke anggota DPR
karena masyarakat sadar betul mereka tidak punya akses untuk bersuara langsung
kepada pemerintah. Betul bahwa tak jauh
dari masyarakat setempat, ada pemerintah daerah atau provinsi. Masalahnya,
pemerintah setempat begitu sering meremehkan keluhan atau permintaan
masyarakat.
Jangankan di pelosok daerah, masyarakat perkotaan sekali pun
sering mengeluhkan perilaku pemerintah daerah yang bersikap masa bodoh dengan
keluhan dan permintaan masyarakat. Tak usah jauh-jauh mencari perbandingan;
masyarakat yang bermukim di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi nyatanya begitu
sering mengecam pemerintah daerahnya karena ruas jalan yang sudah rusak selama
bertahun-tahun tak pernah diperbaiki.
.
Malas Mengawasi
Konsekuensi logis lainnya adalah pemerintah tidak bisa
begitu saja menolak kebutuhan dana anggota DPR untuk membiayai UP2DP itu.
Inisiatif DPR ini bukan sesuatu yang dipaksakan, melainkan titah UU. Rasanya
menjadi sangat berlebihan jika Presiden dan para menteri harus diingatkan lagi
tentang aspek legal-konstitusional UP2DP ini. Payung hukum UP2DP adalah UU No.
17/2014 tentang MD3 itu.
Karena itu, baik pernyataan Menteri Pratikno maupun Menteri
Adrinof sebenarnya agak tendensius. Bahkan cenderung sebagai upaya
menjerumuskan Presiden. Secara tidak langsung, Presiden didorong untuk
melanggar UU No.17/2014 tentang MD3 itu. Kalau sampai pelanggaran UU itu
akhirnya benar-benar terjadi, konsekuensinya jelas bahwa Presiden akan
berhadap-hadapan langsung dengan DPR.
Pernyataan kedua menteri itu juga bisa disebut sebagai
perilaku tak terpuji karena keduanya sudah berupaya membentuk asumsi atau
pendapat umum bahwa Presiden sudah pasti menolak dana aspirasi anggota
DPR. Kalau asumsi publik sudah dibentuk
seperti itu, posisi Presiden akan sangat dilematis ketika tiba waktunya untuk
menentukan sikap finalnya. Kalau menolak DPR akan bereaksi dengan tuduhan
melanggar UU. Sedangkan kalau menyetujui
pun akan mengecewakan dan membingungkan publik yang opininya sudah terlanjur
dibentuk.
Demi kepastian sekaligus menghindari kegaduhan, pemerintahan
Presiden Jokowi dan DPR harus melaksanakan UU MD3, khususnya Pasal 78 dan Pasal
80 huruf (J). Selama kampanye menuju pemilihan presiden hingga pelantikannya,
Presiden Jokowi berulangkali berjanji untuk selalu taat dan setia kepada UUD
1945, termasuk melaksanakan UU. Janji ketaatan dan kesetiaan yang sama pun
diucapkan anggota DPR RI saat mengucapkan sumpah/janji sebagai anggota DPR.
Masing-masing pihak pun tahu betul risiko melanggar UU. Jadi, jangan coba-coba
melanggarnya.
Oleh karena itu, para menteri hendaknya tidak terburu-buru
dalam bersikap. Para pembantu Presiden perlu memahami UP2DP secara utuh dan
komprehensif. Dana Rp20 miliar itu tidak keluar dari struktur APBN. Pun tidak
ada upaya DPR mengambilalih peran pemerintah dalam perencanaan pembangunan.
Konsep UP2DP hanya usulan program berbasis daerah pemilihan yang justru bisa
membantu visi dan misi Presiden tentang pemerataan pembangunan.
Alasan utama para menteri dan juga sebagian masyarakat
menolak UP2DP adalah kekhawatiran dana itu dikorupsi. Kalau kekhawatiran itu
yang dijadikan alasan utama menolak dana aspirasi, berarti pemerintah masih
tetap dengan perilaku lama, yakni malas melakukan pengawasan. Tema pengawasan
yang sering didengungkan hanya menjadi sarana pencitraan.
Peluang menyalahgunakan dana aspirasi nyaris tidak ada.
Pertama, karena dana itu dipaku dalam struktur APBN. Kedua, karena
pemanfaatannya diawasi langsung oleh masyarakat setempat. Kalau pemerintah tidak malas, instrumen
pengawasan masih ditambah lagi dengan melibatkan inspektorat jenderal pada
setiap pemerintahan provinsi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tingkat provinsi. Kalau perlu,
pengawasan atas pemanfaatan dana aspirasi DPR juga melibatkan lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang kredibilitasnya sudah teruji.
Argumen para menteri bahwa dana aspirasi rawan dikorupsi
sebenarnya menjadi bentuk lain dari pengakuan pemerintah bahwa pengawasan
pembangunan masih jauh dari efektif. Untuk menutup-nutupi kemalasan dan
ketidakmampuan melakukan pengawasan itu, dipilih jalan pintas dengan upaya
menolak dana aspirasi anggota DPR.
Perilaku malas dan ketidakmampuan bisa ditutupi dengan cara
apa pun. Namun, kemalasan dan ketidakmampuan itu tidak boleh mengorbankan
kepentingan orang banyak.
.
Referensi :
[1] http://pribuminews.com/16/07/2015/anggota-dpr-bamsoet-pokoknya-presiden-harus-setujui-dana-aspirasi/
0 komentar:
Posting Komentar